Pendakian Bukit Cumbri, Mendaki Sendirian
Saat ini, Instagram nampaknya sukses menjadi sebuah alat penebar ‘racun’
traveling yang efektif. Tengok saja, gara-gara dia, banyak orang yang
awalnya tidak suka naik gunung tiba-tiba mau bersusah payah jalan kaki naik gunung
biar seperti kawannya yang lain. Gara-gara dia juga, lokasi wisata yang sepi
tiba-tiba menjadi ramai pengunjung. Diakui atau tidak, kehadirannya mengubah
banyak hal.
Perjalanan saya mendaki Bukit Cumbri ini contohnya. Saya sempat ‘terracuni’
oleh foto-foto yang beredar di Instagram. Walaupun memang, ‘racun’ itu
bertambah kuat dari omongan kawan-kawan saya yang tinggal di Wonogiri.
Awalnya saya hanya ingin melihat foto-fotonya, tapi kemudian rasa penasaran
itu semakin kuat. Selanjutnya, kalau saya sudah berburu koordinat dan
memasukkannya ke dalam note, itu artinya suatu saat jika ada kesempatan saya
pasti meluncur ke sana.
Bukit Cumbri berada
di daerah perbatasan antara Purwantoro dengan Ponorogo. Bagi kalian yang
penasaran dengan Bukit Cumbri dan ingin mendakinya, ini sudah bukan hal yang
sulit. Google Maps sudah menandai lokasi ini, sehingga dari arah mana pun
kalian tinggal minta tolong dibuatkan rute menuju lokasi, selesai.
Saya berangkat dari Solo menuju Wonogiri saat itu. Koordinat sudah saya
simpan di aplikasi Sygic yang ada di Zenfone 4, smartphone sehari-hari saya.
Kenapa saya simpan di Sygic? Karena jika suatu saat saya tidak mendapatkan
sinyal internet saya bisa mengandalkan satelit. Nahas, Sygic tidak mampu
membuatkan rute untuk jarak yang jauh. Saya saat itu sudah berada di Wonogiri,
masih juga belum bisa memberikan rute ke Cumbri. Bahkan, saya sempat nyasar
sampai Waduk Gajah Mungkur, harusnya tidak lewat sini. Akhirnya saya kembali
mengandalkan internet dengan Google Maps. Alhamdulillah lancar, bahkan di
daerah yang saya perkirakan sinyal susah (jalur tembus dekat PLTA) ternyata
masih lock dengan lancar.
Dengan panduan Google Maps saya gas pol arah Ponorogo melalui Purwantoro.
Sebelum melewati Gapura Reog, Maps menuntun saya untuk belok kiri. Di aspal
sudah ada coretan “Cumbri”. Tinggal lurus saja ikuti jalan yang sudah ada sudah
sampai di lokasi parkir.
Pendakian Bukit Cumbri
Kekonyolan yang saya ulang lagi adalah naik bukit di siang hari saat matahari
bersinar terik. Dulu ketika saya naik Gunung Api Purba, Nglanggeran pertama
kali juga siang hari. Waktu itu saya masih tertolong dengan banyaknya pepohonan
di sepanjang jalur pendakian. Tapi kali ini mendaki Cumbri adalah hal yang
lebih konyol lagi. Saya sendirian. Bawa bekal minum hanya 2 botol tanggung,
tanpa makanan sama sekali. Dan kalau boleh saya gambarkan bagaimana kondisi di
siang itu, saya hampir pingsan.
Mendaki Cumbri di jalur utama adalah rute tanjakan tanpa ‘bonus’. Kalau di
Nglanggeran masih ada beberapa titik bonus (jalan datar) dan banyak pohon, di
Cumbri jalan tanjakan terus dengan pepohonan yang minim.
Hal yang lebih menyakitkan adalah Puncak Cumbri sudah kelihatan dari bawah.
Bahkan di Pos I kita sudah bisa berfoto dengan latar Puncak Cumbri. Tapi jangan
dibayangkan setelah itu semakin mudah, justru semakin menanjak dan megap-megap
saya karena siang itu teramat panas.
Hari itu hari senin, tidak ada seorang
pun yang piknik ke Cumbri. Saya sendirian naik dan tidak ketemu seorang pun di
atas. Bagaimana perasaanmu di atas gunung kok tidak ketemu siapa pun? Saya
hanya bertemu pencari rumput di bawah (sekitar pos I). Selebihnya? Saya
sendirian di Gunung, mungkin lebih tepatnya di bukit itu. Batuan besar, tebing
curam, padang rumput yang gersang, matahari yang teramat panas, dan detak
jantung yang makin tak karuan. Sejujurnya saya takut jika saya pingsan di sini,
karena pasti tidak ada yang mencari saya. Tidak ada seorang pun yang saya beri
tahu bahwa hari ini saya naik ke Cumbri.
Namun kebiasaan mbolang sendirian
selama ini mengajarkan kepada saya untuk cermat mengukur kondisi. Dalam kondisi
mata sudah berkunang-kunang kepanasan saya beristirahat di bawah pohon walaupun
pohon kecil. Jalan 30-50 langkah menanjak di kondisi panas terik seperti ini
sudah membuat saya ngos-ngosan. Saya harus istirahat, sembari istirahat saya
melihat ke atas, berapa meter lagi ada pohon yang bisa saya gunakan untuk
berteduh harus saya prediksi, sehingga ketika saya mulai jalan maka harus
sampai di titik itu. Berhenti tanpa ada naungan pohon itu sama saja menyiksa
diri.
Tiba di puncak saat adzan dzuhur
berkumandang. Di puncak tak ada pohon yang bisa kita gunakan untuk berteduh,
hanya batu besar yang menyisakan ruangan terlindung dari sinar matahari sedikit
yang saya manfaatkan untuk meletakkan tas, melepas topi, menaruh kamera lalu
rebahan di tanah. Ya Allah panasnya. Alhamdulillah batu ini bisa untuk
berteduh. Satu jam 15 menit saya berjuang menggapai puncak. Saya berhitung,
jika ini sore atau malam hari pasti lebih singkat karena tidak dihajar dengan
panas terik.
Kejutan Horor
Saat saya rebahan saya tiba-tiba
teringat sesuatu. Saya meraba dada, mencari kacamata yang saya selipkan di kaos
yang saya pakai. Tidak ada. Tidak mungkin, padahal yakin sekali saya kacamata
saya ada di situ, saya tidak membungkuk-bungkuk, tidak terjatuh. Lalu, di mana?
Seketika itu saya merasa ada yang ‘usil’. Merinding membayangkan ketika saya
ketemu yang tidak-tidak jika di puncak bukit, sendirian. Tidak mau berlama-lama
saya mengambil beberapa foto lalu bergegas turun dengan setengah berlari.
Panasnya matahari tidak terlalu panas
jika dibandingkan dengan ketika saya naik. Tiba-tiba di jalan setapak saya
menemukan kaca mata saya kembali dalam posisi terlipat sempurna. Ambil, tidak,
ambil, tidak, jangan-jangan. Ah sudahlah. Saya ambil lalu berlari lagi ke bawah.
Saya istirahat sejenak di camping ground, tepat di bawah puncak. Di tempat
lapang ini kita bisa mendirikan banyak tenda dan menyalakan api unggun. Tempat
yang perfect menjelang puncak. Ya hanya di tempat ini saja ada bonus (jalan
datar).
Separuh jalan saya turun baru bertemu
dua orang yang ternyata juga dari Solo. Salah satunya mas-mas gondrong yang
dilihat dari stylenya sudah biasa naik gunung bersama satu temannya lagi yang
sedang megap-megap ketika ngobrol.
Obrolan Warung Mie
Sampai di bawah, saya langsung mampir
warung memesan mie goreng telur dan es jeruk. Melepas sepatu gunung, kaos kaki
lalu merebahkan diri di warung dengan alas bilah bambu yang luar biasa. Nikmat
sekali rebahan di sini walaupun saat itu saya tahu kondisi tubuh saya masih
amat sangat panas, keringat masih membanjiri seluruh tubuh walaupun saya sudah
tidak berjalan dan kepanasan. Saya menyeka sesekali keringat di wajah, tidak
ada semenit keringat membanjir lagi, begitu seterusnya hingga sekitar 10 menit
keringat saya mulai berkurang.
Mie goreng, tempe mendoan dan es jeruk
sangat nikmat siang itu. Dari pemilik warung ini pula saya mendapatkan banyak
sekali cerita tentang Bukit Cumbri. Tentang bagaimana pengelolaan retribusi,
tentang seberapa peduli pemerintah daerah terhadap wisata ini dan bagaimana
perjuangan mereka (masyarakat setempat) mengelola kawasan wisata.
Selesai makan saya pun pamit pulang.
Misi saya selesai, naik Cumbri sendirian. Total biaya yang saya keluarkan saat
itu 74 ribu rupiah. Terdiri dari: 50rb BBM, 10rb minuman botol tanggung (2
biji), 9rb makan di warung, 5rb parkir.
Ada yang tertarik ke Cumbri? Datanglah
sore hari lalu camping di sini, jangan mendaki di siang hari seperti saya. Itu
gila.[]
Dari Pos I sudah kelihatan Puncak Cumbri |
Saya tidak sedang mau bunuh diri loh, hanya sedikit ngadem
|
Nanjak terus tanpa 'bonus' |
Comments