Pulau Kecil di Tengah Waduk Cengklik
Ahad pagi itu saya tiba-tiba kangen untuk ke Waduk Cengklik.
Berharap keajaiban untuk mendapatkan view sunrise yang menentramkan hati.
Walaupun ternyata tidak, ada hal seru yang saya dapatkan pagi ini. Lagi-lagi saya ke sini, sendiri. Selepas sholat subuh saya
segera memacu motor membelah lengangnya jalanan Kota Solo di pagi buta. Tiba di
Waduk Cengklik juga masih dalam keadaan gelap gulita. Dalam remang-remang
cahaya lampu kelihatan beberapa orang yang masih tidur beralaskan tikar dan
beratapkan langit lepas.
Mendung di atas kepala masih pekat. Sunrise tidak akan
muncul pagi ini. Mencoba beberapa jepretan dengan shutter lambat menarik
sepertinya. Akhirnya seperti inilah hasilnya.
Bergeser destinasi
Merasa tak ada view yang menarik untuk diabadikan saya
bergeser di area waduk yang telah diubah menjadi persawahan dadakan. Ketika
musim penghujan telah mencapai puncak, area pertanian ini hilang ditelan
genangan air.
Saat saya datang memang sudah musim hujan, namun belum
mencapai puncaknya. Saya memutuskan menyusuri 'galengan' berjalan menuju pulau
di tengah Waduk Cengklik.
Ada rasa takut, tegang, namun penasaran saya lebih besar
mengalahkan keduanya. Pada musim-musim tertentu, pulau ini dihuni banyak sekali
burung. Pagi ini belum kelihatan apakah masih banyak burung yang tinggal di
sana atau tidak.
Pulau kecil di tengah waduk
Tidak ada burung yang berkicau, tidak ada petani yang ke
sawah, tidak ada nelayan yang tampak di sekitar sini. Sepi. Aku langkahkan kaki
memasuki pulau. Sunyi seperti punya suara sendiri, memenuhi gendang telinga
dengan sesuatu yang tidak kumengerti. Empat pohon ukuran sedang menyambutku di
hadapan.
Semakin ke tengah pulau aku bisa melihat ke beberapa arah.
Keramba di kejauhan, orang-orang yang nongkrong di tepian waduk kelihatan kecil
sekali. Lalu tibalah aku di sebuah tanah lapang. Di sini terdapat lajur-lajur
yang sengaja dibuat, semacam lahan untuk bercocok tanam. Entah hendak ditanami apa
belum kelihatan. Di sebelah tepi pulau juga terdapat beberapa tanaman yang
memang sengaja ditanam untuk menjaga pulau agar tidak tergerus air ketika waduk
sedang full muatan air.
Semakin ke tengah semakin gelap suasananya. Rasa takut mulai
menyergap. Aku memandang di kejauhan tampak pengunjung Cengklik mulai bertambah
banyak. Mereka kelihatan kecil, kecil sekali. Jika ada sesuatu denganku di sini
mungkin mereka sama sekali tidak melihat. Adakah hewan buas di sini? Aku mulai
sedikit ragu melangkah. Aku menatap sebatang pohon yang tegak berdiri di
depanku. Pohon itu mungkin semacam beringin karena dilengkapi dengan banyak
sulur. Aku menoleh ke kiri. Ternyata tidak hanya satu, tapi beberapa pohon yang
seperti ini. Aku beranikan memotret beberapa lalu berjalan semakin ke tengah.
Ada satu pohon lagi di tengah pulau. Pohon ini besar, jauh
lebih besar dibandingkan yang lain, jauh lebih banyak sulur dibanding pohon
lain. Khayalanku saat itu, jangan-jangan dibalik lebatnya sulur itu ada gerbang
perlintasan menuju alam yang lain. Jangan-jangan dibalik lebatnya sulut itu
keluar sesosok yang tidak ingin kutemui di sini. Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi
penakut? batinku. Pohon ini paling besar dan paling seram di antara yang
lainnya. Kalau tidak difoto pasti aku akan menyesal nantinya. Maka kuberanikan
memotret dengan tenang dan dalam format RAW. Semoga nanti bisa ditampilkan
secara mendetail di komputer.
Selesai memotret pohon paling besar perasaanku makin tidak
enak. Entah kenapa biasanya lintasan perasaan yang muncul pertama kali menjadi
semacam tanda yang sering tepat. Jadi, sebelum muncul kemungkinan-kemungkinan
yang lain, aku segera balik kanan dan melangkah menjauh. Menyusuri kembali
jalan setapak di tengah persawahan. Meninggalkan pulau kecil ini dan kembali
mengambil motor yang kuparkir di trotoar tepi jalan. Satu rasa penasaran telah
terobati. Saatnya pulang kembali.[]
Comments
Salam dari anak Solo pak.