Gunung Api Purba Nglanggeran (Sendirian)
"Kayaknya Pak Taufik lagi embuh,"
komentar atasanku ketika tahu bahwa malam nanti aku bakal naik gunung
sendirian. Dalam hati aku meng-amin-i kata-kata itu. Saya memang sedang
'entah'.
Ya Allah, jika saya tidak bisa membuatnya bahagia
setidaknya ijinkan saya untuk tidak membuat sedih dia. Maka mungkin, menyendiri
adalah pilihan yang paling tepat ketika saya sudah tak kuat lagi - itu yang
senantiasa terngiang dalam hati maupun doa-doa yang terucap.
Karangasem, pagi itu
Aku tiba di kantor masih pagi. Segera aku bongkar muat
dan packing ulang perkap yang akan aku bawa malam nanti mendaki Nglanggeran,
sendirian. Packing ringkas tapi tetap safety. Tas carrier 70 liter lengkap
dengan covernya dan berisi; tenda, flysheet, matras, kamera, sleeping bag,
kompor, gas kaleng, perkap masak, logistik, korek, senter, pisau lipat, belati,
peralatan mandi, pakaian ganti, dll.
Banyak yang heran melihat niatan 'konyol' itu. Ya Allah,
saya tidak minta dikagumi, tidak minta dipuji. Saya ingin sedikit bahagia.
Andaikan semua hal yang mereka anggap 'keren' ini bisa ditukar dengan
kebahagiaan yang sederhana, aku ingin menukarnya.
Bismillah sore berangkat
Perjalanan menyusuri jalanan menuju Yogyakarta kala sore
memberikan nuansa tersendiri. Lalu-lalang kendaraan yang hendak pulang seperti
bercerita, mereka sudah ada yang menanti di rumah. Aku masih terus memacu
motorku perlahan, menikmati senja yang makin tenggelam di tengah hiruk-pikuk
jalan raya.
Sekali aku berhenti ketika matahari begitu indahnya
bersinar. Dalam hati aku berkata, sunset sempurna, kenapa aku selalu
menemukannya di tempat dan waktu yang 'tidak sempurna'.
Perjalanan aku lanjutkan lagi. Hari makin gelap. Sudah
maghrib rupanya. Aku mengambil jalan dari Prambanan menuju Piyungan lalu ke
Bukit Bintang. Bukit Bintang cukup ramai, sebentar aku menengok ke kanan, lalu
lurus lagi. Sesekali menegakkan punggung membetulkan posisi carrier yang agak
melorot dari punggung.
Koramil Patuk telah aku lewati. Jalanan ramai kini
berganti menjadi jalan kecil yang sepi, sesekali aku didahului oleh motor
penduduk, hanya beberapa. Selebihnya aku sendirian menikmati hembusan angin
petang yang sudah agak dingin di kulit. Jalan menuju lokasi masih sama dengan
dahulu ketika aku ke sini, sepi dan gelap. Hanya ada beberapa lampu saja selain
lampu rumah penduduk.
Nglanggeran, aku datang, sendirian
Petugas parkir mendatangiku, memastikan aku sendirian.
Tidak ada raut kaget ketika melihat aku sendiri, karena memang ini hanya bukit,
dan pasti sudah banyak yang sendirian juga seperti aku.
Aku sholat maghrib dan isya di mushola dekat loket masuk.
Sepi. Hanya ada satu jamaah saja, mereka adalah mahasiswa yang hendak pulang
setelah seharian di Nglanggeran.
Selepas sholat aku meyiapkan diri. Mengencangkan sepatu,
ikat pinggang, menyiapkan senter, pisau, belati, kamera dan yang lainnya. Tak ada
keraguan sedikit pun ketika hendak memulai perjalanan ini. Ini yang aku
butuhkan, sendirian. Aku tidak 'pergi untuk dicari' karena aku tahu hidup tidak
sebercanda itu. Aku pamit ke orangtua, setidaknya jika nanti ada apa-apa mereka
tahu aku ada di mana, itu saja.
"Mas, mau naik? mau camping di atas?" sapa
salah seorang wanita gemuk bersama teman-temannya.
"Iya Mbak, masih ada yang di atas?" sahutku.
"Serius sendirian? Nggak lagi stres kan Mas?"
(hedeh kenapa pertanyaanku nggak dijawab)
"Iya Mbak, sendirian"
"Gila lu Mas, Gue aja rame-rame takut gelap gini.
Lha elu sendirian..."
"Saya nggak gila Mbak, paling cuma dikit,"
jawabku asal.
Hufftt... perjalanan dimulai. Anak tangga aku lewati
dengan mantab sambil berusaha menjaga ritme jalanku agar tidak terlalu cepat
namun juga tidak lambat. Nafasku makin berat, lama nggak joging ngefek juga
ternyata. Baru segini dah ngos-ngosan.
Bayangkan rasanya berjalan sendirian dalam cahaya
remang-remang lampu kuning di awal trek Nglanggeran. Serem. Sumpah. Adrenalin
rasanya mengalir deras dalam tubuh. Tiap kaki melangkah rasanya makin berat
namun juga makin tak mungkin aku kembali. Ini adalah pilihan. Lorong Sumpitan
telah terlewati dengan agak tersendat karena aku membawa carrier dan ada tripod
besar di samping.
Lepas dari Lorong Sumpitan rasanya makin menantang. Ingat
dengan beberapa tikungan yang pohonnya lebat dan cukup gelap meskipun siang
hari? Nah, di tiitk ini aku makin sering nengok ke belakang. Empat langkah,
lima langkah tengok belakang sambil menyorotkan senter.
Tiap pos aku berhenti istirahat. Satu hal yang kusesali,
kamera yang tak bawa tak mampu melakukan LongShutter, gagal deh menangkap
kerlap-kerlip lampu maupun suasana remang-remang di kegelapan.
Ketika dua orang itu datang
Antara Pos II dan Pos III tiba-tiba ada yang
mendatangiku. Orang, bukan, orang, bukan, itu yang ada dalam pikiranku.
Alhamdulillah orang.
Cowok-cewek yang mau ikut bareng ke puncak. Ganggu uji
nyali aja batinku. Tapi lumayan sih, paling nggak kalau ada monyet mau nyerang
tiga orang pasti juga mikir-mikir. Sejujurnya sendirian ke sini yang paling aku
takutkan adalah kawanan monyet yang dulu pernah aku lihat menyerbu tenda ketika
minggu pagi. Kedua, apa lagi, tentu saja setan. Sendirian masuk hutan,
malam-malam lagi. Alhamdulillah selama ini nggak pernah ketemu yang ‘aneh-aneh’
jadi ya moga kali ini juga sama.
Nggak ada sejam udah nyampe puncak. Di sini nggak ada
apa-apa. Hanya batu kosong yang aku berdiri di atasnya diterpa angin yang jika
aku diam setengah jam dijamin masuk angin. Angin sangat kencang . Aku sudah
malas mengeluarkan kamera, percuma. Nggak bisa longshutter nggak ada gregetnya
fotografi malam.
Ketika aku
hanya pindah tidur
Dua orang tadi pasang tenda sendiri, aku pun juga
demikian. Cari tempat yang aman dari angin, buka carrier, pasang tenda lalu
rebahan sebentar. Masih ada sinyal sesekali. Pintu tenda masih kubuka. Aku
melihat lepas ke langit, rembulan bersinar cukup cerah. Beberapa saat kemudian,
kabut mulai muncul. Cukup pekat.
Segera aku buka kompor, masak mie, makan camilan lalu
tutup tenda. Belum bisa tidur. Masih berpikir kenapa aku harus ke sini,
sendirian.
Tidak berapa lama bumi bergetar. Gempa.
Aku terbangun. Berteriak ke tenda yang lain apa memang
gempa. Ternyata benar. Beberapa saat kemudian ada broadcast masuk ada gempa di
Yogyakarta. Ah sudahlah.
Hawa dingin ini. Ah, ini yang sudah lama aku rindukan.
Buka SB masuk di dalamnya lalu miring ke samping. Aku peluk erat dia lalu tidur
dengan nyenyak sekali (dia: carrier, siapa lagi).
Esok pagi pukul 04.30 aku keluar tenda. Loh masih gelap?
Ya gelap, emang udah ada matahari jam segitu, batinku
konyol.
Bangun pagi, cuci muka dengan tisu basah, lalu menyiapkan
jas hujan untuk sajadah, dan sholat subuh. Selesai sholat, bongkar tenda, packing
dan memastikan semua terpasang kuat di badan lalu aku turun.
Lari dari
kenyataan
Sengaja aku memang kejar waktu harus sampai kantor
sebelum jam masuk sehingga aku masih bisa mandi dan sarapan. Maka aku turun
dengan lari. Bukan orang hebat, aku hanya ingin merasakan kaki njarem badan rasanya nggak karuan. Itu
saja. Karena ternyata yang seperti itu sedikit ‘mengobati’.
Sudah tak perlu senter lagi pagi ini. Tiap aku melewati
tenda tak ada yang bangun. Mereka masih nyenyak dengan tidurnya. Biar. Aku
sudah mulai basah keringat di 5 menit pertama. Minum seteguk air lalu lari
lagi. Trek ini sudah tak asing bagiku, namun lari sendirian rasanya berbeda.
Aku terus berlari. Kata orang, impian itu layak dikejar. Maka aku terus berlari
dan di menit ke 15 sampailah di parkiran.
“Loh kok nggak nunggu sunrise Mas?” sapa bapak yang di
parkiran. Dia yang sudah bangun di antara petugas lain yang masih molor.
“Iya Pak, saya harus masuk kerja hari ini. Sunrise di
puncak Nglanggeran saya pernah memotretnya dulu. Semoga lain waktu bisa agak
longgar ke sini lagi,” jawabku.
Akhirnya
sunrise juga
Matahari bersinar dengan kuning lembut dan mendamaiakan,
ketik itu aku sudah sampai di Piyungan menuju Prambanan. Aku membayangkan
mereka yang di puncak Nglanggeran, pasti baru heboh foto-foto. Aku udah pernah
kok. Kali ini biar sunrise menemaniku memacu motor yang larinya sudah nggak
bisa lebih dari 100kpj menyusuri jalanan Yogya-Solo yang masih lengang.
Aku nggak tau kenapa harus melakoni ini. Tapi aku hanya
tau, ini akan membuatku sedikit lebih baik. Yah, aku baik-baik saja. Pagi ini
aku masih hidup, alhamdulillah masih sehat, alhamdulillah nggak ketemu setan,
dan matahari pagi ini hangat sekali. Sepoi angin juga masih bersahabat.
Aku datang kembali. Datang kepada sebuah kenyataan yang
harus aku hadapi. Ya, aku baik-baik saja.[]
Comments