Pendakian Gunung Prau #2
Ketegangan mereda ketika kami mulai melihat perkampungan,
jalananan yang mulai datar dan kabut yang mulai berkurang. Pun demikian,
situasi masih sunyi senyap, tidak ada orang yang lewat kecuali serombongan
mobil ini. Sampai kemudian kami menemukan turunan tajam yang membawa kami masuk
kembali ke jalan raya utama menuju Dieng.
Lalu lintas masih cukup ramai. Musik mengalun indah,
semua bersemangat karena sebentar lagi sampai - kata gps. Semoga memang
demikian adanya.
Dingin yang menggigit
Tiba di basecamp pukul 01.00 dini hari, sunyi dan
dingin yang cukup menggigit. Semula kami mengira ini adalah basecamp Patak
Banteng, ternyata Kali Lembu. Apapun itu ada sebuah perasaan lega ketika sudah
tiba di lokasi ini. Kami registrasi dengan membayar 80rb untuk 7 orang -
beserta parkir mobil mungkin.
Di basecamp
kami sudah diperingatkan bahwa di atas sedang badai, naiknya besok saja. Kami
diam, tidak ada yang menjawab tapi kami juga tidak sepakat - dalam hati. Hehe.
Bukan kami mau sombong dengan ingin nekat, tapi kalau
naik besok pagi ya sayang dengan semua perjuangan sedari berangkat tadi. Dapet
gak dapet sunrise kali ini, kami harus jalan malam ini juga. Banyak yang
menyarankan tektok (naik ke puncak langsung turun lagi) saja, bawa barang dan
logistik seperlunya. Lagi-lagi kami tidak sepakat. Sudah bawa perbekalan ya
percuma donk ditinggal, lagipula siapa yang menjamin kalau di atas kami tidak
butuh tenda dan yang lainnya. Pokoknya tetap kami bawa.
Carrier 80 liter di punggungku seakan tak muat menampung
barang yang harus kami bawa. Tekad sudah bulat, kami naik ke puncak sekarang
juga. Pukul 02.30 dini hari.
Menembus badai
Trek Gunung Prau tidak terlalu berat sebenarnya, banyak
bonus trek datar. Tapi entah kenapa kabutnya teramat pekat. Headlight tak terlalu mampu menembus
kabut, lagi-lagi karena berwarna putih. Jarak pandang terbatas, udara teramat
basah, lembab. Slayer kututupkan di mulut dan hidung sebentar saja karena tak
kuat, susah bernapas. Mau dibuka udara teramat basah. Lalu harus bagaimana?
Entahlah. Kami terus berjalan dalam pandangan yang terhalang pekatnya kabut.
Menjelang puncak angin bertiup makin kencang, namun anehnya
kabut tak juga berkurang, makin pekat dan tak terlihat. Pepohonan bergoyang
hebat, kami berhenti sejenak, ketika angin sedikit berkurang kami jalan lagi,
angin kencang berhenti lagi. Begitu seterusnya hingga hampir puncak. Kami sebut
hampir karena tak tahu mana puncak. Kami buta arah dan sudah mulai menggigil
kedinginan.
Sampai di manapun saat ini tenda harus segera didirikan,
sudah waktu subuh dan dingin makin menggigit. Kami sholat subuh dengan
menggigil menahan dingin.
Pesimis puncak
Pukul 05.30 pagi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda
sunrise. Sejauh mata memandang langit berwarna putih keabu-abuan tanda kabut
masih ada di mana-mana. Di beberapa sudut masih bergelayut mendung. Sempat
bertanya dalam hati, akankah hingga nanti hanya seperti ini yang kami dapat?
Satu orang menggigil parah. Setelah sholat subuh tidak
mau melakukan apapun, hanya minta Sleeping Bag lalu masuk tenda dan tidur.
Aku termasuk salah satu orang yang bertahan di luar
tenda, meresapi hawa dingin Gunung Prau. Aku tak tahu, kapan aku bisa kembali
lagi ke tempat ini, dengan siapa, dan dalam rangka apa. Nikmati saja tiap
prosesnya, kenangan ini akan tersimpan kuat ketika benar-benar direkam dan
dinikmati.
Secangkir kopi panas dalam genggaman, aku nikmati
perlahan sambil duduk di antara bunga-bunga Daisy yang terhampar luas.
CiptaanMu sungguh indah ya Rabb. Aku menikmati dingin udara ini, aku menikmati
suara angin di sela-sela pepohonan dan rerumputan. Aku tidak berharap lebih,
aku mensyukuri semua ini. Sama sekali tidak terbayangkan puncak ada di sebelah
mana, aku tak peduli.[bersambung]
Comments